Wednesday, June 12, 2024

Isu Yang Meresahkan

 Isu Kemanusiaan Bikin Baper

 

Siswi SMP dipergoki sedang menerima panggilan pria hidung belang.

Seorang anak tega membunuh ibunya karena tidak dibelikan motor.

Skor literasi Indonesia termasuk peringkat 10 terbawah di dunia.

Tawuran antar pelajar menewaskan tiga orang siswa.

Dari begitu banyaknya berita yang beredar di kalangan masyarakat Indonesia, baik itu berita di media cetak, maupun elektronik, beberapa isu diatas begitu meresahkan hati saya. Bagaimana tidak, semua berita itu memiliki satu benang merah, memiliki sebuah kesamaan, yaitu berhubungan dengan anak-anak di usia sekolah.

Kalau saya boleh sedikit flashback ke masa kecil saya dulu, rasa-rasanya hidup saya pada masa itu hanyalah seputaran sekolah, belajar, mengerjakan pe-er, mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, dan sesekali mengikuti lomba/ kompetisi di luar sekolah. Selain daripada itu, pergi bermain, berkumpul bersama teman-teman, bermain sepeda, atau pergi berenang. Tak pernah sedikitpun terpikir oleh saya untuk ikut dalam tawuran, apalagi sampai menerima panggilan dan atau berpikir untuk membunuh ibu kandung sendiri. Naudzubillahi min dzalik. Sungguh mengerikan.

Tapi kemudian saya sadar, tidak semua anak memiliki kesempatan yang sama. Tidak semua anak melewati masa sekolah yang indah dan mulus tanpa masalah. Lalu apa penyebab dari semua hal yang saya sebutkan diatas. Saya pribadi memiliki beberapa opini terkait dengan maraknya kejadian ini.

1. Faktor Ekonomi

Dari sebagian besar kasus tersebut, akar permasalahan utamanya adalah faktor ekonomi atau dengan kata lain, kurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Mengapa dapat saya katakan seperti ini? Karena dalam kondisi yang terdesak, dalam jangka waktu yang lama, sebagai korban dari kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh kedua orangtuanya, anak-anak ini tidak dapat berpikir jernih dan kemudian melakukan berbagai cara sebagai jalan pintas dari permasalahannya. Selain itu, karena ekonomi yang rendah, kedua orang tua terpaksa harus bekerja keras siang dan malam, sehingga anak-anak tumbuh tanpa pengawasan yang baik dari kedua orangtuanya.

2. Rendahnya Pendidikan Ilmu Agama

Bayangkan, bagaimana indahnya dunia ini, jika semua orang, berpegang teguh pada yang halal dan menjauhi yang haram. Mungkin tidak akan ada catatan kriminal di setiap negara. Mungkin dunia ini akan aman, damai dan tenteram. Sayangnya sebagian dari masyarakat tidak menerima pendidikan ilmu agama yang baik, sehingga perbuatan-perbuatan yang buruk masih kerap terjadi di masyarakat kita. Bahkan, di era yang serba canggih ini, sebagian orang yang taat pada agama dianggap kolot, ketinggalan jaman, kaku dan bahkan, maaf, radikal.

3. Kurangnya Akses Pada Pendidikan Yang Berkualitas

Mengapa saya bisa berpendapat seperti ini? Karena dengan pendidikan yang baik, maka logika berpikir manusia juga akan lebih baik. Manusia cenderung akan lebih bisa berpikir kritis, menimbang baik dan buruk. Selain itu, kesibukan akan kegiatan sekolah baik kegiatan utama yaitu belajar maupun kegiatan tambahan seperti ekstra kurikuler akan membantu mengisi waktu anak-anak dengan hal-hal yang positif.

4. Tenaga Pengajar Yang Professional

Masih berhubungan juga dengan tulisan di minggu sebelumnya, tentang bagaimana seorang guru honorer bisa dibayar begitu kecil dengan tenggat pembayaran yang terkadang tidak rutin. Tere Liye pernah membahasnya pula, bagaimana di negeri ini, lulusan-lulusan universitas terbaik cenderung tidak tertarik untuk menjadi guru atau tenaga pengajar. Sedangkan diluar negeri, banyak dari lulusan universitas ternama yang kemudian mendaftarkan diri mejadi guru. Hal ini dikarenakan, standar gaji tenaga pengajar yang cenderung lebih kecil dibandingkan bekerja di bisang swasta.

Apabila, pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan para guru, meningkatkan standar gaji dan benefit yang didapatkan, bukan tidak mungkin negeri kita bisa mendapat tenaga pengajar profesional dari kampus-kampus ternama. Dengan harapan, para pengajar ini akan meningkatkan taraf Pendidikan anak bangsa, sehingga menjadi generasi yang lebih cerdas, lebih berkualitas dan berdaya guna. Menjauhkan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat.

Thursday, June 6, 2024

Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita jadi pintar dibimbing pak guru
Kita bisa pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara

Foto dokumen pribadi perayaan Hari Guru di SDIT Al Ittihad Pekanbaru.

Pekan lalu, Ibuku baru saja pulang dari kota Medan. Beliau kesana dalam rangka mengunjungi adiknya yang akan berangkat haji tahun ini. Seperti biasa, sesampainya di rumah, sambil menikmati oleh-oleh khas kota Medan, kami pun berdiskusi tentang kabar seluruh keluarga disana. Dan saat itulah Ibuku mulai bercerita tentang Ainun, salah satu sepupuku.

“Si Inun itu lho, kasihan kali lah dia itu, guru honorer, gaji cuma 1,1 juta, dibayarnya pun per enam bulan.” ujar Ibuku dengan logat khas Medan.

“Wah, masak sih, Nek? Dibayar per enam bulan?” jawabku terkejut dan tak percaya.

“Iya, kasihan kan. Makanya itu, terpaksa lah dia ngambil-ngambil les kesana kemari, untuk biaya sampingan, tambah-tambahan.” ujar Ibuku menambahkan.

Dan akupun terdiam. Jumlah uang yang biasanya hanya cukup untuk aku sekali belanja di supermarket saja, untuk Ainun sudah merupakan besaran gaji satu bulan. Belum lagi, dia adalah ‘single parent’ dengan satu anak. Sungguh tak mudah perjuangannya untuk mencukupi segala kebutuhan dia dan anaknya dari gaji honorer yang didapatkannya.

Rasa geram muncul di hati, mengingat seminggu sebelumnya, aku baru saja melihat berita di televisi tentang seorang Menteri yang mengangkat biduan Wanita menjadi pegawai honorer di Kementriannya dan dibayar sepuluh juta per bulan. Dan yang lebih parahnya lagi, pegawai honorer itu hanya masuk sebanyak dua kali dalam setahun tetapi tetap terus menerima gaji.

Padahal menurut saya seorang guru honorer adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Dapat dibayangkan, berapa banyak anak bangsa yang telah mereka didik, dengan segala keterbatasannya. Bayangkan berapa guru honorer yang dapat dibayarkan dari gaji seorang pegawai honorer di Kementrian yang bahkan tidak pernah masuk kantor tersebut.

Banyak kisah-kisah pilu dari perjuangan para guru honorer di negeri kita. Sebagian dari mereka harus menempuh berkilo-kilo meter jauhnya untuk mencapai sekolah dengan berjalan kaki. Tak sedikit pula yang harus melalui medan yang berat, menembus hutan, menyeberangi sungai, dan lain sebagainya.

Pembayaran upah yang tak selalu rutin setiap bulan pun membuat mereka memutar otak mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapur tetap selalu mengebul. Ada yang harus menyambi sebagai kuli angkut batu di waktu senggang untuk mencari tambahan biaya hidup, ada yang menyambi menjadi guru les di luar waktu sekolah, ada yang sambil berjualan, ada yang menjadi petani gula kelapa, dan lain sebagainya.


Seorang petani gula aren atau penyadap, Samsul saat mengambil air pucuk kelapa di Desa Sumber Jaya, Tegalbuleud, Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (11/5/2024) (Foto: RRI/ Rizki Supermana). Dikutip dari https://www.rri.co.id/features/683799/perjuangan-guru-honorer-panjat-100-pohon-kelapa-sehari

Tetapi, dibalik segala perjuangan keras itu, detik ketika mereka menginjakkan kakinya di sekolah, mereka akan menjadi guru yang bersahaja, guru yang selalu semangat mendidik para muridnya, mencetak generasi penerus bangsa Indonesia. Terima kasih Bapak dan Ibu Guru, jasamu tiada tara.

 

 

 


Isu Yang Meresahkan

  Isu Kemanusiaan Bikin Baper   Siswi SMP dipergoki sedang menerima panggilan pria hidung belang. Seorang anak tega membunuh ibunya ka...