Kita jadi bisa
menulis dan membaca karena siapa
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita jadi pintar dibimbing pak guru
Kita bisa pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara
Pekan lalu,
Ibuku baru saja pulang dari kota Medan. Beliau kesana dalam rangka mengunjungi
adiknya yang akan berangkat haji tahun ini. Seperti biasa, sesampainya di
rumah, sambil menikmati oleh-oleh khas kota Medan, kami pun berdiskusi tentang
kabar seluruh keluarga disana. Dan saat itulah Ibuku mulai bercerita tentang Ainun,
salah satu sepupuku.
“Si Inun itu
lho, kasihan kali lah dia itu, guru honorer, gaji cuma 1,1 juta, dibayarnya pun
per enam bulan.” ujar Ibuku dengan logat khas Medan.
“Wah, masak
sih, Nek? Dibayar per enam bulan?” jawabku terkejut dan tak percaya.
“Iya, kasihan
kan. Makanya itu, terpaksa lah dia ngambil-ngambil les kesana kemari, untuk
biaya sampingan, tambah-tambahan.” ujar Ibuku menambahkan.
Dan akupun
terdiam. Jumlah uang yang biasanya hanya cukup untuk aku sekali belanja di
supermarket saja, untuk Ainun sudah merupakan besaran gaji satu bulan. Belum
lagi, dia adalah ‘single parent’ dengan satu anak. Sungguh tak mudah
perjuangannya untuk mencukupi segala kebutuhan dia dan anaknya dari gaji honorer
yang didapatkannya.
Rasa geram
muncul di hati, mengingat seminggu sebelumnya, aku baru saja melihat berita di
televisi tentang seorang Menteri yang mengangkat biduan Wanita menjadi pegawai
honorer di Kementriannya dan dibayar sepuluh juta per bulan. Dan yang lebih
parahnya lagi, pegawai honorer itu hanya masuk sebanyak dua kali dalam setahun
tetapi tetap terus menerima gaji.
Padahal
menurut saya seorang guru honorer adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Dapat
dibayangkan, berapa banyak anak bangsa yang telah mereka didik, dengan segala
keterbatasannya. Bayangkan berapa guru honorer yang dapat dibayarkan dari gaji seorang
pegawai honorer di Kementrian yang bahkan tidak pernah masuk kantor tersebut.
Banyak kisah-kisah
pilu dari perjuangan para guru honorer di negeri kita. Sebagian dari mereka harus
menempuh berkilo-kilo meter jauhnya untuk mencapai sekolah dengan berjalan kaki.
Tak sedikit pula yang harus melalui medan yang berat, menembus hutan, menyeberangi
sungai, dan lain sebagainya.
Pembayaran upah
yang tak selalu rutin setiap bulan pun membuat mereka memutar otak mencari solusi
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapur tetap selalu mengebul. Ada yang
harus menyambi sebagai kuli angkut batu di waktu senggang untuk mencari
tambahan biaya hidup, ada yang menyambi menjadi guru les di luar waktu sekolah,
ada yang sambil berjualan, ada yang menjadi petani gula kelapa, dan lain sebagainya.
Tetapi, dibalik
segala perjuangan keras itu, detik ketika mereka menginjakkan kakinya di
sekolah, mereka akan menjadi guru yang bersahaja, guru yang selalu semangat mendidik
para muridnya, mencetak generasi penerus bangsa Indonesia. Terima kasih Bapak
dan Ibu Guru, jasamu tiada tara.
No comments:
Post a Comment