Perjalanan Paling Berkesan

 “Selamat ya, Bu, atas kehamilannya.” ujar dokter Rudiyanti diiringi senyuman manis khas beliau.

“Terima kasih, Dok.” jawab saya ikut sumringah tetapi juga ragu-ragu.

“Saya resepkan ya asam folat dan vitamin D nya.” Sambung dokter Rudiyanti sambil mengetik resep dan menatap layar komputer.

“Oiya, Dok, sebetulnya, saya ada rencana berangkat umroh bulan depan. Apa nggak papa, Dok, lagi hamil muda begini?” tanya saya untuk membuang keragu-raguan.

“Insya Allah tidak apa-apa, Bu, yang penting jaga Kesehatan dan jangan terlalu capai saat berkegiatan disana.” Jawab dokter Rudiyanti, kemudian kembali menatap layar komputer.

“Baik, Dok.” saya mengatupkan kedua belah telapak tangan.

Siang itu saya pulang ke rumah dengan hati yang berbahagia. Walau ini bukan kehamilan yang pertama, tetapi ini adalah kehamilan yang memang saya tunggu - tunggu. Sudah delapan bulan berlalu dari hari Dimana saya melepaskan alat kontrasepsi itu, terasa begitu lama tetapi akhirnya yang dinantikan insya Allah akan hadir juga. Alhamdulillah.

Tiba – tiba muncul dalam ingatan, bagaimana wajah Bapak dan Ibu mertua saya setiap kali mereka membahas kapan saya akan hamil lagi, kapan saya akan punya anak laki - laki. Inilah salah satu ciri khas orang Batak, yaitu selalu menantikan kehadiran anak laki - laki yang kelak akan meneruskan marga kebanggaan keluarga. Jadi bagi kalian yang menikah dengan pria Batak dan memiliki anak Perempuan, jangan kaget apabila nanti anaknya masih bayi, sudah ditanya lagi kapan hamil. Akan seperti itu terus sampai dapat anak laki-laki. Ini pada umumnya ya, tapi tidak semua seperti itu.

Persiapan berangkat umroh sudah matang, semua keperluan dan kebutuhan selama disana juga sudah tersusun rapi di dalam kopor. Bekal makanan, cemilan dan susu kemasan untuk anak-anak selama disana juga sudah siap.

Hari itu kami berangkat dengan pesawat pukul satu pagi dini hari. Kami mengambil paket umroh dan Dubai city tour, jadilah penerbangan pertama kami adalah rute Jakarta - Dubai. Langit Dubai gelap sekali pagi itu menyambut kedatangan kami, hujan deras membasahi kota yang terkenal dengan bangunan Burj Khalifa-nya itu. Pesawat sempat berputar - putar di atas untuk mendapatkan waktu mendarat yang paling tepat.

Sesampainya di bandara internasional Dubai, kami pun diminta oleh kepala rombongan untuk menunggu sejenak di area kursi - kursi penumpang. Kami pun saling berkenalan antar sesame anggota rombongan yang belum sempat kami lakukan di bandara Jakarta tadi. Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, kepala rombongan kembali.

“Bapak Surya, mohon maaf, untuk Ibu Nurul Hasanah, sayang sekali visanya ditolak, Pak. Kami sudah mengupayakan untuk membeli visa on arrival tetapi belum berhasil juga.” Kepala rombongan menyampaikan berita itu kepada suamiku.

“Oh, begitu ya. Jadi bagaimana ini kelanjutannya?” tanya suamiku sedikit kecewa.

“Iya, kebetulan kita sudah dalam jadwal untuk keliling kota Dubai ini, Pak. Jadi hanya Ibu sendiri saja yang tidak bisa masuk, selain dari Ibu, seperti Bapak dan anak-anak, bisa ikut dengan rombongan. Untuk Ibu mungkin bisa menunggu di dalam bandara, Pak, sampai kami kembali kesini, dan sebelum penerbangan ke Madinah nanti sore.” jelas mereka.

“Wah, saya tidak mungkin meninggalkan istri saya sendirian di bandara. Apalagi kondisinya sedang hamil. Kalau memang begitu, kami berempat tinggal saja disini semua, tidak apa-apa. Silahkan kepada rombongan lain untuk melanjutkan perajalanan, kami tunggu disini.” Jawab Surya mantap.

“Baik, Pak, kami mohon maaf sekali lagi, Pak Surya. Terima kasih atas pengertiannya.” ujar mereka yang merasa bersalah karena kami sekeluarga tidak bisa mengikuti agenda wisata sebagaimana mestinya.

Satu persatu anggota rombongan mendatangi kami, memberi support dan ikut bersimpati. Baru saja satu hari, pikirku, kenapa sudah ada saja cobaannya. Sabar, Cik, kataku dalam hati mencoba menguatkan diri dengan tetap tersenyum kepada anggota rombongan yang bersimpati kepada kami.

Setelah berputar - putar di bandara selama kurang lebih tujuh jam lamanya, sore itu kami berangkat menuju Madinah. Alhamdulillah penerbangannya lancar dan sesampainya disana kami disambut dengan sajian Albaik, ayam goreng tepung yang paling terkenal di Saudi Arabia. Malam itu, tidak ada agenda kegiatan apapun dan kami diminta beristirahat setelah perjalanan yang panjang.

Keesokan paginya, suhu begitu dingin menusuk tulang. Sekitar sepuluh derajat di Madinah, belum pernah saya rasakan sebelumnya. Anak - anak memakai jaket tebal dan dilapis lagi dengan mukena panjang. Kegiatan pertama hari itu adalah mengelilingi komplek Masjid Nabawi dan mendengarkan sejarahnya. Hari itu kami tutup dengan berjalan - jalan di sekitar masjid dan hotel. Tak lupa disetiap sholat, di setiap waktu mustajab, di setiap sudut, di setiap tadahan tangan, saya selalu berdoa memohon kepada Allah agar diberi kesempatan memiliki anak laki - laki.

Hari ketiga di Madinah, kami mengunjungi Masjid Quba, berkeliling dan mengambil banyak foto disana. Tak lupa sholat sunnah dua rakaat dan lagi-lagi memanjatkan doa memohon kepada Allah agar diizinkan untuk mendapatkan anak laki - laki. Dari Masjid Quba, kami menuju Perkebunan kurma dan kami berbelanja berbagai macam kurma disana. Acara hari itu ditutup dengan kunjungan ke Jabal Uhud.

Malamnya, kami menyempatkan untuk mengunjungi Raudhah, makam Nabi Muhammad salallahu alaihi wassalam. Disitu, sungguh aku melihat keajaiban, Allah berikan kemudahan dalam menembus keramaian disana, Allah tunjukkan kebaikan rekan - rekan rombongan umroh kami, yang berusaha menjaga saya selama didalam Raudhah yang begitu padatnya. Disana, di depan makam Nabi, aku mengucapkan untaian doa panjang memohon kekuasaan Allah.

“Ya Allah, izinkanlah aku memiliki anak laki-laki ya Allah. Apabila memiliki anak laki-laki adalah yang terbaik menurut-Mu, terbaik untukku, keluargaku dan masa depanku, maka berikanlah kemudahan ya Allah. Tetapi kalau memiliki anak laki-laki bukan yang terbaik untukku, maka, berikanlah yang terbaik untukku, apapun itu atas kehendak-Mu.” Tak terasa, air mata mengalir deras membasahi pipiku yang bersungguh - sungguh memohon kepada-Nya.

Keesokan harinya, perjalanan kami lanjutkan ke kota Makkah dengan menggunakan bus. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih delapan jam. Alhamdulillah perjalanan lancar dan sesampainya disana, begitu melihat kabbah, bergetarlah hati ini. Tak terasa air mata membasahi pipi. Kami pun menunaikan ibadah sholat maghrib dan isya disana. Ratusan kata dan doa saya ucapkan sambil menadahkan tangan ini. Setelah berdoa saya usap pelan perut dan berharap si jabang bayi dalam keadaan sehat sampai selesai seluruh rangkaian ibadah nanti. Kuat ya, Nak.

Kami pun melaksanakan ibadah umroh, tawaf, sai dan tahalul bagi laki-laki dan menyelesaikan semua prosesnya pada pukul dua dini hari. Alhamdulillah sepertinya si jabang bayi kuat, begitu juga kakak-kakaknya yang walau terlihat mengantuk tapi masih semangat. Keesokan paginya, kami memutuskan untuk sholat subuh di hotel saja agar tidak terlalu kelelahan.

Alhamdulillah selesai rangkaian utama perjalanan umroh kami. Kegiatan keesokannya adalah jalan – jalan ke Thaif, atau bagian tertinggi di kota Mekkah. Kami berangkat dengan menggunakan bus, sepanjang jalan menanjak dan kami mendengarkan kisah – kisah dan Sejarah Islam dari Ustad yang membimbing kami. Perjalanan keliling Thaif begitu menyenangkan, pemandangannya indah, makannnya enak dan kami juga sempat mengunjungi pusat penyulingan bunga mawar. Saat pulang, kami menggunakan kereta gantung dari Hotel Ramada untuk turun ke bawah. Dan di bawah, bus kami telah menunggu untuk mengantarkan kami kembali ke kota Mekkah.

Keesokan harinya, adalah hari bebas. Kami berkeliling kota Mekkah dan berbelanja oleh – oleh untuk anggota keluarga di rumah. Kami melaksanakan tawaf wada atau tawaf perpisahan dan mulai bergerak pulang melalui Jeddah, dilanjutkan ke Dubai dan akhirnya Kembali ke Jakarta. Alhamdulillah.

--

“Bagaimana, Dok, apakah sudah kelihatan anaknya laki – laki atau Perempuan, Dok?”

“Insya Allah laki – laki nih, Ibu, selamat ya.” Senyum dokter Rudi.

“Alhamdulillah ya, Allah. Alhamdulillah. Alhamdulilla.” tanpa saya sadari, air mata deras membasahi pipi. Terima kasih ya, Allah. Terima kasih. Telah Kau wujudkan doa dan harapanku ya, Allah. Engkau Maha Baik.

“Alhamdulillah kata dokternya insya Allah anaknya laki – laki, Ma, Pa. Iya, iya, insya Allah.” Ucap Surya mengabari Bapak dan Ibunya melalui sambungan telepon.

“Kata Mama, Papa lagi sujud syukur.” ucap Surya kepadaku.

Buah perjalanan yang begitu indah, begitu berkesan dan takkan terlupakan. Tujuh bulan dari perjalanan itu, lahirlah Zubair Abdullah Abbas Siregar, di kota Jakarta, ditengah pandemi yang melanda. Semoga Allah jadikan Zubair anak yang soleh, beriman, bertaqwa. Semoga Allah jadikan kelak Ia menjadi pemimpin dunia, pemimpin dalam agama. Aamiin.

 

Tamat

 

 

 

Comments

Popular Posts